umkmgodigital.web.id - Pada 2022, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK).Data itu menunjukkan inklusi keuangan Indonesia mencapai 85,10%, dengan literasi keuangan 49,68%.
Angka tersebut tampak membanggakan. Namun, di balik persentase yang tinggi, tersimpan celah besar: apakah data ini benar-benar mencerminkan kenyataan seluruh lapisan masyarakat, terutama di desa terpencil?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami menelusuri sebuah desa di pelosok Kalimantan Selatan, tempat sebuah keluarga sederhana hidup jauh dari akses bank, koperasi, maupun layanan fintech.
Cerita
mereka membuka perspektif baru: angka bisa menipu, tapi realita hidup tidak
bisa dipoles.
SNLIK,
Angka yang Membanggakan tapi Masih Menyisakan Pertanyaan
Menurut data resmi OJK, SNLIK 2022
mencatat:
-Tingkat inklusi keuangan: 85,10%
-Tingkat literasi keuangan: 49,68%
-Artinya, hampir 9 dari 10 orang Indonesia memiliki akses ke
layanan keuangan.
Namun, dalam praktiknya, masih
banyak masyarakat di desa terpencil yang tidak pernah mengenal tabungan, tidak
punya rekening bank, bahkan tidak tahu apa itu asuransi.
Inilah yang menjadi fokus
investigasi: apakah inklusi 85% itu benar-benar mencakup mereka?
Kisah
Keluarga di Desa Loksado
Hidup
Tanpa Rekening
Di Desa Loksado, Kalimantan Selatan,
kami bertemu dengan keluarga Pak Rahman (52 tahun). Ia bekerja sebagai
petani karet, dengan penghasilan tak menentu. Dalam sebulan, penghasilannya
rata-rata Rp 1,2 juta. Semua hasil panen diterima tunai dari tengkulak.
“Bank itu apa gunanya? Saya tidak
punya uang banyak, jadi cukup simpan di rumah saja,” kata Rahman.
Keluarganya tak punya rekening bank,
tak mengenal aplikasi dompet digital, dan tak pernah mendengar tentang
asuransi.
Risiko
yang Tak Terlindungi
Tiga tahun lalu, istrinya sakit dan
harus dirawat di rumah sakit kabupaten. Biaya pengobatan mencapai Rp 8 juta.
Karena tak punya tabungan atau asuransi, Rahman terpaksa menjual sebagian
lahannya.
“Kalau ada simpanan, mungkin
tidak seberat itu,” ucapnya lirih.
Cerita Rahman menunjukkan bahwa
meskipun secara statistik Indonesia terlihat sudah inklusif, kenyataan di
lapangan jauh berbeda.
Celah
Data, Mengapa Ada yang Tidak Tercatat?
Survei
dan Representasi
SNLIK menggunakan metode survei
dengan sampel ribuan responden di berbagai provinsi. Namun, tidak semua desa
terpencil terjangkau enumerator. Artinya, masih ada keluarga seperti Rahman
yang hidup di luar radar data.
Literasi
yang Terlupakan
Menurut pakar keuangan Universitas Lambung Mangkurat, Dr. Siti Mawar, “Data inklusi memang meningkat, tapi literasi masih tertinggal. Tanpa literasi, inklusi bisa jadi semu, hanya angka tanpa makna.”
Kontradiksi
di Lapangan
-85% inklusi
berarti masyarakat sudah punya akses ke bank atau fintech.
-Tapi cerita Rahman membuktikan bahwa masih ada desa
yang sama sekali tidak punya fasilitas keuangan.
-50% literasi
menunjukkan banyak orang tahu produk keuangan tapi tidak paham penggunaannya.
Implikasi
Sosial & Ekonomi
Ketika literasi keuangan rendah:
-Masyarakat lebih mudah terjebak pinjaman online ilegal.
-Tidak punya tabungan untuk menghadapi darurat.
-Tidak bisa memanfaatkan program pemerintah berbasis
perbankan, seperti KUR.
Di sisi lain, pemerintah merasa
inklusi sudah tinggi karena data survei, padahal realita di desa jauh berbeda.
Apa
yang Bisa Dilakukan?
Pemerintah
harus memperluas survei hingga
desa-desa terpencil.
Edukasi
literasi keuangan berbasis komunitas:
melalui tokoh desa, guru, hingga posyandu.
Digitalisasi
inklusi keuangan harus disertai pelatihan dasar
agar masyarakat tidak bingung menggunakan layanan.
Kolaborasi
bank dengan koperasi desa untuk
membuka akses lebih merata.