Bondowoso—Dalam dekade terakhir, financial literacy (literasi keuangan) bukan lagi sekadar isu akademis, melainkan kebutuhan hidup nyata.
Mahasiswa, kelompok yang sering dipandang sebagai agent of change, kini menjadi pionir yang membawa gagasan inklusi keuangan berbasis fintech.
Sebuah kajian terbaru dari arXiv bertajuk "Financial literacy, social capital, and fintech in higher education"
menyoroti bagaimana mahasiswa memiliki potensi besar dalam memengaruhi ekosistem keuangan digital.
Studi tersebut menegaskan bahwa
pemahaman literasi keuangan, jejaring sosial (social capital), dan
pemanfaatan fintech mampu membuka jalan menuju inklusi keuangan yang lebih
luas.
Namun, di balik data dan teori, ada
kisah nyata mahasiswa yang berjuang menjembatani literasi keuangan di tengah
keterbatasan komunitasnya.
Dari
Kampus ke Komunitas,
Transformasi Peran Mahasiswa
Dian, mahasiswa Universitas Negeri Malang, adalah salah satu dari banyak mahasiswa yang terlibat dalam Studi Independen literasi keuangan.
Ia mengaku bahwa awalnya konsep financial literacy terasa asing bagi teman-temannya. Namun, melalui program diskusi,
kelas mikro,
dan praktik penggunaan aplikasi fintech, mereka perlahan memahami manfaatnya.
“Kami bukan hanya belajar teori di kelas. Kami turun langsung, mengajari ibu-ibu PKK cara menggunakan dompet digital,
membantu pedagang pasar memahami cara menabung lewat aplikasi fintech,dan bahkan mengajarkan teman sebaya mengatur uang saku agar tidak habis di
akhir bulan,” ujar Dian.
Cerita ini memperlihatkan bahwa
mahasiswa bukan sekadar objek penelitian, melainkan subjek yang aktif
mentransfer ilmu kepada komunitas.
Studi
arXiv. Keterkaitan Literasi, Social Capital, dan Fintech
Dalam laporan yang dipublikasikan di
arXiv, para peneliti menekankan tiga aspek utama:
-Financial Literacy
Pemahaman dasar mengenai pengelolaan uang, investasi, serta risiko keuangan.
Bagi mahasiswa, hal ini bukan sekadar teori ekonomi, melainkan keterampilan
bertahan hidup.
-Social Capital
Jaringan sosial menjadi jembatan pengetahuan. Mahasiswa dengan akses komunitas
luas cenderung lebih cepat menyebarkan literasi keuangan.
-Fintech Adoption
Aplikasi fintech terbukti mempermudah transaksi dan mendorong inklusi keuangan,
terutama di kalangan generasi muda dan masyarakat marjinal.
Studi tersebut mengonfirmasi bahwa ketiganya saling memengaruhi dan memperkuat. Literasi tanpa akses teknologi akan stagnan,
sementara fintech tanpa pemahaman keuangan bisa berisiko menjerat
pengguna pada utang digital.
Tantangan
yang Dihadapi Mahasiswa
Meski potensinya besar, jalan
mahasiswa untuk menjadi pionir edukasi tidaklah mulus. Beberapa tantangan utama
antara lain:
-Kesenjangan Digital
Tidak semua komunitas memiliki akses internet stabil. Sosialisasi fintech di
desa seringkali terhambat oleh minimnya infrastruktur.
-Budaya Keuangan Konvensional
Banyak orang tua atau komunitas masih percaya pada metode menabung
konvensional, dan memandang curiga pada aplikasi digital.
-Kurangnya Dukungan Institusi
Meski studi independen sudah populer, tidak semua kampus memiliki program
sistematis untuk mengintegrasikan literasi keuangan ke dalam kurikulum.
Mahasiswa
sebagai Pionir Edukasi Komunitas
Meski penuh tantangan, mahasiswa
tetap menunjukkan kreativitas. Beberapa langkah yang mereka lakukan, antara
lain:
-Kelas Literasi Keuangan Mikro
Workshop singkat di posyandu, warung kopi, hingga masjid setempat untuk
memperkenalkan cara mengatur keuangan.
-Edukasi Digital Melalui Media Sosial
Mahasiswa memanfaatkan Instagram, TikTok, hingga YouTube untuk membuat konten
sederhana tentang tips keuangan berbasis fintech.
-Pendampingan Komunitas Rentan
Pendampingan ibu rumah tangga, buruh harian, dan mahasiswa baru yang rawan
terjerat pinjaman online ilegal.
Dengan cara ini, mahasiswa tidak hanya menjadi penerima manfaat dari riset akademis, melainkan motor penggerak inklusi keuangan di komunitas akar rumput.
Di Desa Karangploso, Malang, kelompok mahasiswa mengadakan pelatihan penggunaan aplikasi peer-to-peer lending untuk petani.
Tujuannya sederhana: memberikan akses modal tanpa
terjebak pada rentenir.
“Awalnya kami ragu, takut ditipu. Tapi setelah anak-anak kuliah menjelaskan dengan sabar, kami jadi berani mencoba.
Sekarang hasil panen bisa langsung kami jual lewat aplikasi,
pembayarannya lebih cepat,” ungkap Pak Suyitno, petani jagung.
Kisah ini menunjukkan bahwa
transformasi literasi keuangan bukan hanya soal angka, tapi tentang perubahan
hidup nyata di masyarakat.
Rekomendasi
dari Studi arXiv
Berdasarkan riset dan pengalaman
lapangan, ada beberapa rekomendasi penting:
-Integrasi Kurikulum:
Kampus perlu memasukkan literasi keuangan berbasis fintech ke mata kuliah umum.
-Kolaborasi Multi-Pihak:
Mahasiswa, fintech startup, dan pemerintah daerah perlu bekerja sama menggelar
program inklusi keuangan.
-Penguatan Social Capital:
Jaringan alumni dan organisasi mahasiswa dapat menjadi kanal efektif
menyebarkan literasi.
-Monitoring & Evaluasi:
Perlu sistem pengawasan agar edukasi tidak hanya berhenti di seminar, tetapi
berlanjut dalam praktik nyata.
Dampak
Jangka Panjang
Jika dikelola serius, studi mahasiswa independen ini akan menciptakan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan keuangan.
Mahasiswa tidak hanya melek finansial, tetapi juga memiliki empati sosial. Dampaknya, inklusi keuangan di Indonesia bisa meningkat signifikan, terutama di daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan.
Studi Mahasiswa Independen dalam Literasi dan Fintech Mengacu arXiv menunjukkan bahwa mahasiswa berperan ganda: sebagai pelajar sekaligus pendidik.
Mereka adalah pionir yang membawa literasi keuangan dari kampus menuju
komunitas.
Dengan menggabungkan financial literacy, social capital, dan pemanfaatan fintech, mahasiswa mampu membuka pintu inklusi keuangan yang lebih luas.
Di balik angka dan data, ada kisah nyata perjuangan mahasiswa yang berhasil mengubah pola pikir masyarakat.