Pasar naik-turun itu biasa. Kuncinya ada di pengelolaan risiko yang tepat. |
Kalau Anda sudah berinvestasi lebih dari beberapa bulan, hampir pasti pernah merasakan sensasi “roller coaster” pergerakan pasar. Hari ini portofolio hijau, besok bisa langsung merah. Kondisi ini wajar—pasar keuangan memang penuh fluktuasi.
Kabar baiknya: fluktuasi bukan musuh, tapi bagian alami dari perjalanan investasi. Hal terpenting adalah kemampuan Anda mengelola risiko, sehingga tujuan keuangan tetap tercapai meski perjalanan menuju ke sana tidak selalu mulus.
Apa Itu Risiko Investasi?
Secara sederhana, risiko investasi adalah kemungkinan hasil yang Anda terima berbeda dari harapan. Bisa lebih tinggi (untung besar) atau lebih rendah (rugi).
Beberapa jenis risiko yang umum:
Risiko pasar: harga saham, obligasi, atau kripto turun karena sentimen global.
Risiko likuiditas: susah menjual aset dengan cepat tanpa rugi harga.
Risiko kredit: penerbit obligasi gagal bayar.
Risiko inflasi: daya beli uang hasil investasi menurun.
Tidak ada investasi tanpa risiko. Yang bisa kita lakukan adalah mengelola, bukan menghilangkan.
7 Tips Mengelola Risiko Investasi
1. Tentukan Tujuan dan Horizon Waktu
Tujuan adalah kompas. Investasi jangka pendek (1–2 tahun) sebaiknya ditempatkan di instrumen stabil seperti pasar uang atau obligasi. Sementara itu, untuk pensiun 20 tahun lagi, saham lebih cocok.
Tips: tuliskan 1–2 tujuan utama lengkap dengan target nominal dan waktunya. Dengan begitu, Anda bisa memilih instrumen sesuai jangka waktu.
2. Kenali Profil Risiko Anda
Setiap orang berbeda. Ada yang santai melihat portofolio turun 10%, ada yang langsung panik. Luangkan waktu mengisi kuesioner profil risiko (tersedia gratis di banyak aplikasi investasi) untuk mengetahui apakah Anda termasuk investor konservatif, moderat, atau agresif.
Dengan mengenali profil, Anda bisa menyusun alokasi aset yang pas tanpa membuat stres.
3. Diversifikasi Portofolio
Diversifikasi adalah kunci klasik: jangan taruh semua telur di satu keranjang.
Campurkan saham, obligasi, emas, atau bahkan reksadana pasar uang.
Lewat diversifikasi, saat satu aset melemah, aset lain dapat menjadi penopang.
Diversifikasi juga bisa dilakukan antar sektor (misal saham perbankan + consumer goods) atau antar wilayah (domestik + global).
Contoh sederhana (profil moderat): 40% saham, 40% obligasi, 20% emas.
4. Gunakan Strategi Dollar-Cost Averaging (DCA)
Daripada berusaha menebak kapan waktu terbaik masuk pasar (market timing), lebih bijak berinvestasi secara rutin dengan nominal tetap.
Contoh: setiap tanggal gajian, investasikan Rp500.000 ke reksadana saham. Hasilnya, harga beli Anda akan rata-rata lebih stabil, dan risiko beli di harga puncak bisa teredam.
Mengelola risiko investasi itu wajib, apalagi di pasar yang fluktuatif. |
5. Siapkan Dana Darurat & Jangan Pakai Uang Panas
Investasi seharusnya dilakukan dengan “uang dingin”—dana yang memang dialokasikan untuk tujuan jangka panjang.
Sebelum berinvestasi, pastikan Anda sudah punya dana darurat 3–6 bulan biaya hidup. Dengan begitu, Anda tidak perlu menjual aset saat pasar sedang turun hanya karena butuh uang cepat.
6. Tetapkan Batas Kerugian (Cut Loss) dan Target Cuan
Untuk instrumen berisiko tinggi (seperti saham atau kripto), penting menentukan:
Cut loss: misalnya jika harga turun 10% dari harga beli, Anda siap menjual agar tidak makin dalam.
Target cuan: jika harga naik 20%, pertimbangkan realisasi sebagian keuntungan.
Dengan strategi ini, Anda bisa lebih mudah mengendalikan emosi dan tidak sekadar terbawa arus pergerakan pasar.
7. Lakukan Rebalancing Secara Berkala
Seiring waktu, alokasi aset bisa bergeser karena pergerakan harga. Misalnya awalnya saham 40%, obligasi 40%, emas 20%. Setelah setahun, saham naik banyak hingga porsinya jadi 60%.
Di sini, lakukan rebalancing: jual sebagian saham lalu kembalikan ke obligasi atau emas. Tujuannya agar risiko tetap sesuai profil awal, tidak terlalu miring ke satu instrumen.
Cara Mengendalikan Emosi di Tengah Pasar Fluktuatif
Sering kali, risiko terbesar justru bukan datang dari pasar, melainkan dari diri kita sendiri. Panik saat merah, euforia saat hijau. Berikut beberapa cara menahan emosi:
Ingat tujuan jangka panjang. Perubahan harian bukan segalanya.
Jangan terlalu sering cek portofolio. Cukup evaluasi bulanan atau triwulan.
Catat alasan membeli. Jika alasannya masih relevan, tahan godaan untuk menjual buru-buru.
Ikuti berita secukupnya. Terlalu banyak informasi bisa bikin overthinking.
Contoh Skenario: Investor Moderat di Pasar Fluktuatif
Misalnya, Dimas (30 tahun) sedang menyiapkan tabungan untuk DP rumah dalam 4 tahun. Ia mengalokasikan portofolionya ke 50% obligasi, 30% saham, dan 20% emas.
Tahun pertama, pasar saham turun 15%, tapi obligasi dan emas relatif stabil. Total portofolio Dimas hanya turun 4%—jauh lebih ringan dibanding jika seluruhnya saham.
Di akhir tahun, Dimas melakukan rebalancing: menambah porsi saham ketika harga rendah, sambil tetap menjaga stabilitas lewat obligasi. Hasilnya, Dimas tetap on track menuju target DP rumahnya.
Kesalahan Umum Saat Mengelola Risiko
-Over-diversifikasi: terlalu banyak instrumen sampai sulit dipantau.
-Sering gonta-ganti aset: ikut tren tanpa strategi jelas.
-Kurang disiplin melakukan cut loss: terus menunggu harga “kembali naik,” padahal nilainya justru makin merosot.
-Menggunakan dana darurat untuk investasi: akhirnya panik jual saat butuh uang.
-Mengabaikan biaya investasi: fee kecil tapi rutin bisa menggerus hasil.
-Mengelola risiko investasi bukan berarti menghindari kerugian sama sekali, melainkan menjaga agar kerugian terkendali sehingga tujuan jangka panjang tetap tercapai.
Langkah utama yang bisa Anda lakukan:
-Tentukan tujuan dan kenali profil risiko.
-Diversifikasi portofolio dengan porsi yang sesuai.
-Terapkan strategi DCA untuk meratakan harga beli.
-Siapkan dana darurat dan gunakan uang dingin.
-Lakukan rebalancing berkala dan kendalikan emosi.
Dengan pendekatan ini, Anda bisa tetap cuan meski pasar fluktuatif, karena fokus pada strategi jangka panjang, bukan sekadar naik-turun harian.