Perubahan
iklim, degradasi lingkungan, dan menipisnya sumber daya alam telah menjadi
tantangan global yang mendesak. Dunia internasional menekankan pentingnya
transisi menuju ekonomi hijau sebagai salah satu strategi utama untuk
memastikan keberlanjutan bumi. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam
melimpah dan populasi besar, memiliki tanggung jawab besar sekaligus peluang
untuk mengarahkan pembangunan ekonominya ke arah yang lebih ramah lingkungan.
Dalam konteks
ini, peran pemerintah tidak bisa diabaikan. Pemerintah memiliki kewenangan
untuk menyusun regulasi, memberikan insentif, sekaligus menghadirkan
infrastruktur pendukung yang dapat mempercepat transformasi menuju ekonomi
hijau. Tanpa dukungan kebijakan publik yang kuat, bisnis hijau hanya akan
berkembang secara sporadis dan lambat.
Artikel ini
akan membahas bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam mendorong ekonomi
hijau dan bisnis berkelanjutan melalui kebijakan regulatif, insentif fiskal,
program strategis, hingga studi kasus implementasi di lapangan. Selain itu,
tantangan dan arah ke depan juga akan diuraikan untuk memberikan gambaran yang
lebih komprehensif.
1. Kebijakan
Pemerintah untuk Mendorong Bisnis Hijau
a. Regulasi
Emisi dan Standar Lingkungan
Salah satu
instrumen utama pemerintah dalam mendorong ekonomi hijau adalah regulasi yang
berkaitan dengan emisi dan standar lingkungan. Indonesia telah menegaskan
komitmennya melalui Paris Agreement untuk menurunkan emisi gas rumah kaca
sebesar 31,89% secara mandiri, dan hingga 43,20% dengan dukungan internasional
pada tahun 2030.
Untuk
mendukung komitmen tersebut, pemerintah memberlakukan standar emisi kendaraan
bermotor, kewajiban penggunaan energi bersih dalam sektor industri, serta
sertifikasi industri hijau. Kebijakan ini tidak hanya mendorong efisiensi
energi, tetapi juga menekan polusi udara dan mengurangi ketergantungan pada
bahan bakar fosil.
b. Green
Procurement (Pengadaan Barang dan Jasa Hijau)
Belanja
pemerintah memiliki daya dorong besar terhadap perekonomian. Oleh karena itu,
konsep green procurement diterapkan untuk memastikan bahwa pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah mengutamakan produk ramah lingkungan. Misalnya,
penggunaan kertas daur ulang, kendaraan listrik sebagai armada operasional,
atau instalasi energi surya di gedung pemerintahan.
Dengan belanja
negara yang triliunan rupiah, kebijakan ini menciptakan permintaan pasar yang
signifikan, sehingga industri terdorong untuk memproduksi barang dan jasa yang
berkelanjutan. Efek domino ini membantu mempercepat perubahan pola produksi dan
konsumsi di masyarakat.
c. Laporan ESG
(Environmental, Social, and Governance)
Aspek tata
kelola perusahaan yang baik (ESG) kini menjadi perhatian global. Pemerintah
Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mewajibkan perusahaan
publik menyusun laporan keberlanjutan. Laporan ini mencakup pengelolaan dampak
lingkungan, sosial, serta penerapan tata kelola yang bertanggung jawab.
Kebijakan ini
mendorong transparansi sekaligus memberikan tekanan moral dan ekonomi bagi
perusahaan untuk menjalankan praktik yang lebih berkelanjutan. Perusahaan yang
gagal memenuhi standar ESG berpotensi kehilangan kepercayaan investor maupun
konsumen.
2. Insentif
Pajak dan Subsidi bagi Perusahaan Hijau
Regulasi saja
tidak cukup. Untuk mendorong adopsi praktik hijau, pemerintah memberikan
berbagai insentif fiskal dan subsidi.
a. Insentif
Pajak
Perusahaan
yang berinvestasi dalam energi terbarukan atau teknologi ramah lingkungan
berhak memperoleh potongan pajak. Misalnya, tax holiday bagi proyek
energi surya, panas bumi, hingga kendaraan listrik. Kebijakan ini membuat biaya
investasi menjadi lebih ringan sehingga perusahaan lebih terdorong untuk
mengembangkan proyek hijau.
b. Subsidi
Energi Hijau
Pemerintah
juga memberikan subsidi untuk mendorong pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga
Surya (PLTS) atap. Subsidi ini berlaku baik untuk rumah tangga maupun sektor
industri, sehingga masyarakat luas dapat menikmati energi bersih dengan harga
terjangkau.
c. Kredit dan
Pendanaan Hijau
Melalui kerja
sama dengan lembaga keuangan, pemerintah meluncurkan skema pembiayaan murah
untuk proyek ramah lingkungan. Kredit hijau ini memberikan bunga rendah bagi
perusahaan yang mengembangkan proyek energi terbarukan, pengelolaan limbah,
atau produksi berkelanjutan. Dengan demikian, hambatan pembiayaan yang sering
kali menjadi kendala dapat diatasi.
3. Studi Kasus: Program Pemerintah Indonesia
Untuk melihat
peran nyata pemerintah, berikut adalah beberapa contoh program strategis yang
telah dijalankan:
a. Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)
Energi surya
menjadi fokus utama dalam transisi energi di Indonesia. Program PLTS atap yang
digalakkan pemerintah bertujuan meningkatkan bauran energi terbarukan sekaligus
menekan ketergantungan pada batu bara. Dengan potensi sinar matahari yang
melimpah sepanjang tahun, PLTS diharapkan mampu menjadi sumber energi bersih
yang berkelanjutan.
b. Percepatan
Kendaraan Listrik
Sektor
transportasi adalah penyumbang utama polusi udara. Untuk mengatasinya,
pemerintah meluncurkan kebijakan percepatan kendaraan bermotor listrik berbasis
baterai (KBLBB). Insentif berupa subsidi pembelian kendaraan listrik,
pembebasan pajak, hingga pembangunan infrastruktur stasiun pengisian baterai
merupakan langkah nyata untuk memperluas adopsi kendaraan ramah lingkungan.
c. Program
Industri Hijau
Kementerian
Perindustrian menjalankan program sertifikasi industri hijau yang mendorong
perusahaan menerapkan efisiensi energi, pengelolaan limbah, dan penggunaan
bahan baku berkelanjutan. Perusahaan yang berhasil memperoleh sertifikasi
industri hijau akan mendapatkan insentif, termasuk kemudahan akses pasar dan
reputasi yang lebih baik di mata konsumen global.
4. Tantangan
dan Arah ke Depan
Meski berbagai
kebijakan telah dilaksanakan, transisi menuju ekonomi hijau tetap menghadapi
sejumlah tantangan.
a.
Keterbatasan Anggaran
Pembangunan
infrastruktur energi terbarukan dan subsidi kendaraan listrik membutuhkan dana
yang besar. Sementara itu, anggaran negara terbatas dan masih harus dibagi
dengan kebutuhan lain seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar.
b. Resistensi
dari Pelaku Usaha
Tidak semua
pelaku usaha siap bertransformasi. Sebagian menilai investasi hijau membutuhkan
biaya tinggi dan pengembalian yang lama. Hal ini menyebabkan munculnya
resistensi, terutama dari sektor industri tradisional yang sudah lama
bergantung pada bahan bakar fosil.
c. Kesenjangan
Teknologi
Teknologi
hijau masih didominasi oleh negara maju. Indonesia perlu meningkatkan kapasitas
riset dan pengembangan dalam negeri agar tidak selalu bergantung pada teknologi
impor yang mahal.
d. Pentingnya
Kolaborasi
Untuk
mengatasi tantangan tersebut, kolaborasi lintas sektor menjadi kunci.
Pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat harus bekerja sama dalam
menciptakan ekosistem yang mendukung inovasi hijau. Model triple helix—sinergi
antara pemerintah, dunia usaha, dan perguruan tinggi—dapat mempercepat adopsi
teknologi sekaligus memastikan keberlanjutan program.
Kesimpulan
Pemerintah
memegang peran penting dalam transisi menuju ekonomi hijau. Melalui regulasi,
insentif, dan program strategis seperti PLTS dan kendaraan listrik, pemerintah
mendorong dunia usaha lebih ramah lingkungan.
Bagi
perusahaan, kebijakan ini menjadi peluang sekaligus tantangan. Mereka yang
mampu beradaptasi akan meraih keuntungan berupa efisiensi, reputasi baik, dan
akses pasar global.
Ke depan,
pemerintah perlu memperluas insentif, mendukung riset teknologi hijau, dan
memperkuat kerja sama dengan industri serta akademisi. Dengan langkah tersebut,
Indonesia berpotensi menjadi pelopor ekonomi hijau yang berdaya saing dan
berkelanjutan.