Menjadi kaya sering dipandang sebagai tujuan akhir banyak orang.
Namun, menurut riset dan wawancara dengan para miliarder dunia, kunci utamanya bukan sekadar bekerja keras, melainkan mindset dan psikologi finansial yang benar.
Artikel ini mengurai cara berpikir orang-orang terkaya di dunia, membandingkannya dengan kondisi finansial masyarakat Indonesia (berdasarkan data OJK),
serta menghadirkan sudut pandang psikologi keuangan modern.
Mengapa
Banyak Orang Ingin Kaya, Tapi Gagal Mencapainya?
Menurut laporan OJK 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68%, sedangkan inklusi keuangan sudah lebih tinggi di angka 85,1%.
Artinya,
banyak orang sudah punya akses ke layanan keuangan, tapi tidak tahu bagaimana
mengelolanya dengan benar.
Kesalahan utama masyarakat adalah:
Mindset cepat kaya – tergoda investasi bodong.
Tidak punya disiplin finansial – pengeluaran konsumtif lebih besar dari pendapatan.
Kurang memahami investasi jangka
panjang – hanya mengandalkan tabungan.
Di sinilah psikologi finansial
berperan. Miliarder dunia justru mengutamakan pola pikir jangka panjang dan
pengendalian emosi.
Mindset
Miliarder Dunia yang Wajib Dipahami
Berdasarkan wawancara dengan Warren
Buffett, Elon Musk, hingga Li Ka-Shing, berikut pola pikir yang membedakan
miliarder dengan kebanyakan orang:
Kaya
Adalah Efek Samping, Bukan Tujuan Utama
Miliarder tidak sekadar mengejar
uang. Mereka fokus membangun nilai, menciptakan produk yang menyelesaikan
masalah, lalu kekayaan datang sebagai konsekuensi.
Pentingnya
“Delayed Gratification”
Psikolog Walter Mischel pernah melakukan eksperimen “Marshmallow Test” tentang kesabaran anak-anak. Mereka yang mampu menunda kesenangan kecil, kelak lebih sukses.
Prinsip ini juga
dipegang miliarder: menunda kesenangan demi keuntungan lebih besar di masa
depan.
Toleransi
Terhadap Risiko
Miliarder punya kemampuan mengelola
risiko, bukan menghindarinya. Elon Musk, misalnya, berani menjual hampir semua
aset pribadinya demi membiayai SpaceX dan Tesla.
Pola
Pikir Abundance, Bukan Scarcity
Orang biasa sering terjebak dalam
pola pikir keterbatasan (scarcity mindset). Miliarder justru melihat peluang
besar di balik masalah (abundance mindset).
Psikologi
Keuangan yang Menentukan Kekayaan
Penelitian dalam behavioral
finance menunjukkan bahwa perilaku dan emosi lebih memengaruhi keputusan
finansial dibanding logika.
Beberapa bias psikologi yang sering
menghalangi orang jadi kaya:
-Overconfidence bias:
Terlalu percaya diri dalam investasi.
-Loss aversion:
Takut rugi, sehingga tidak berani mengambil peluang.
-Herd mentality:
Ikut-ikutan tren tanpa analisis (misalnya investasi crypto tanpa riset).
Sementara itu, miliarder justru
melatih diri untuk:
-Tetap tenang saat pasar jatuh.
-Melihat kegagalan sebagai pelajaran, bukan akhir.
-Membuat keputusan berdasarkan data, bukan emosi.
Belajar
dari Data OJK dan Realitas di Indonesia
OJK mencatat, masih banyak masyarakat yang terjerat investasi bodong.
Pada tahun 2023 saja, Satgas Waspada Investasi menutup lebih dari 1.100 entitas ilegal.
Kerugian
masyarakat mencapai triliunan rupiah.
Mengapa ini terjadi?
-Kurangnya literasi keuangan.
-Mindset cepat kaya tanpa usaha.
-Minimnya kesadaran risiko.
Padahal, jika belajar dari miliarder dunia, mereka justru fokus pada investasi yang terukur, legal, dan jangka panjang.
Prioritaskan
Literasi Keuangan
Mulailah dengan memahami instrumen
dasar: tabungan, deposito, reksa dana, saham, obligasi, hingga aset digital.
Terapkan
Prinsip “Bayar Diri Sendiri”
Sisihkan minimal 10–20% penghasilan
untuk investasi sebelum digunakan untuk konsumsi.
Bangun
Multiple Streams of Income
Miliarder jarang mengandalkan satu
sumber penghasilan. Ciptakan diversifikasi: bisnis, properti, investasi, hingga
royalti.
Networking
dan Lingkungan
Lingkungan sangat memengaruhi pola
pikir. Miliarder terbiasa bergaul dengan orang-orang visioner, bukan toxic
circle.
Kelola
Emosi Saat Menghadapi Risiko
Latih diri agar tidak panik saat
investasi turun. Fokus pada data dan strategi jangka panjang.
Seorang pengusaha kecil di Malang, awalnya hanya berjualan bakso.
Namun, dengan mindset kaya, ia menyisihkan keuntungan untuk membeli tanah, lalu membangun kos-kosan. Dalam 10 tahun, asetnya berlipat-lipat.
Kisah seperti ini membuktikan, mindset kaya tidak hanya berlaku untuk miliarder dunia, tapi juga rakyat biasa.