Video YouTube berjudul “Mengapa Indonesia Darurat Personal Finance” dari kanal Ternak Uang oleh Kalimasada menyampaikan poin mengkhawatirkan:
meski 85%
penduduk memiliki akses ke layanan keuangan digital, lebih dari 51%
dari mereka tidak memahami cara mengelola uang dengan benar Melintas.
Dermaga akses sudah jauh lebih kuat dibanding modal keahlian. Funneling ini dapat menyebabkan generasi yang “melek aplikasi” tapi kebingungan saat bicara tabungan,
anggaran, dan investasi. Berikut saya uraikan secara mendalam,
menggabungkan pandangan video tersebut dengan data OJK dan perspektif
investigatif berbasis human interest.
Data Pemicunya Literasi vs Inklusi Finansial
Berdasarkan survei OJK (2022):
-Literasi keuangan
baru mencapai 49,68%
-Inklusi keuangan
telah mencapai 85,10% Melintas
Artinya, lebih dari separuh masyarakat sudah terhubung dengan layanan finansial (e-wallet, digital banking, fintech),
tetapi kurang dari
setengah yang benar-benar memahami cara menggunakannya secara sehat dan
strategis. Ini tanda adanya jurang serius: akses tanpa pemahaman.
Gap Berbahaya “Mobil tanpa Pengemudi”
Kalimasada menyamakan situasi ini seperti memberikan mobil kepada orang yang
tidak tahu cara menyetir:
“Mereka sudah pegang akses ke duitnya secara langsung, tapi enggak ngerti
cara kelola. Akhirnya, duit habis tanpa arah…” Melintas
Ironisnya, teknologi finansial yang inklusif justru menjadikan masyarakat semakin rentan jika mereka tidak dibekali dengan literasi yang kuat.
Mereka
bisa terjebak dalam utang konsumtif, fraud, dan investasi bodong.
Kisah Nyata Saat Teknologi Tak Cukup
Ambil contoh seorang pekerja milenial bernama Dewi. Dengan akses lengkap ke aplikasi investasi dan e-wallet, ia rajin menyetor tanpa tahu konsep portofolio atau risiko.
Ketika pasar turun, panik digantikan oleh panik,
lalu jual murah—membawa kerugian.
Kisah serupa dialami Andi, yang meski punya saldo positif di dompet digital, gagal menyiapkan dana darurat saat gaji tertunda.
Ini mencerminkan bahwa tanpa landasan personal finance, akses justru menjadi ilusi keamanan.
Ekosistem Personal Finance yang Rentan
Dua faktor menguatkan darurat keuangan pribadi di Indonesia:
A. Gaya Hidup Konsumtif Digital
Promo flash sale, pay-later, dan e-commerce membuat belanja mudah dan sering
tak terkontrol. Tanpa batas, akun digital jadi jebakan belanjanya tak
terhentikan.
B. Rendahnya Edukasi Formal
Materi keuangan pribadi seringkali absen dari kurikulum, sehingga masyarakat belajar mandiri—sering dari informasi tak terverifikasi.
Padahal, edukasi
fundamental seperti budgeting, dana darurat, dan manajemen utang sangat
dibutuhkan.
Solusi Nyata Jalan Keluar dari Darurat
Berikut langkah praktis untuk beralih dari crisis ke literasi dan
stabilitas:
-Pendidikan Finansial
Sejak Dini
Semua sekolah dan kampus perlu menerapkan modul personal finance: anggaran
sederhana, investasi dasar, dan manajemen keuangan harian.
-Platform Edukasi Digital
Terpercaya
Portal seperti Sikapi Uangmu dari OJK, video edukasi seperti kanal Ternak
Uang, hingga webinar resmi dapat menjadi sarana literasi interaktif.
-Kampanye Nasional
“Darurat Finansial Pribadi”
Perlu upaya massal dan sinergi pemerintah, media, dan influencer untuk
menanamkan pentingnya keuangan pribadi pada masyarakat luas.
-Fitur Edukasi Pada
Aplikasi Keuangan Digital
Bank dan fintech bisa berkewajiban menampilkan edukasi ringkas dalam aplikasi mereka—misalnya alert saat saldo menipis atau simulasi tabungan.