Di balik angka statistik Survey Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang menunjukkan masih rendahnya literasi keuangan di kalangan masyarakat pedesaan,
terdapat kisah yang sering luput dari perhatian: perjuangan perempuan, khususnya ibu rumah tangga dan petani, untuk memahami dunia digital.
Dalam data SNLIK terbaru, segmen perempuan pedesaan tercatat sebagai kelompok paling rentan. Literasi keuangan mereka tertinggal, akses perbankan masih minim, dan pengetahuan digital nyaris nol.
Namun di sela-sela kerentanan itu, lahirlah cerita-cerita kecil tentang kebangkitan. Dari ketidakmengertian membaca saldo digital,
mereka perlahan
berubah menjadi pengguna aktif e-wallet, pengelola kelompok arisan digital,
hingga pelaku UMKM berbasis marketplace.
Kisah ini bukan sekadar anekdot,
melainkan bagian dari fenomena besar: transformasi perempuan rentan menjadi
literate.
Realitas
Perempuan dalam Statistik SNLIK
SNLIK mencatat bahwa literasi keuangan perempuan di pedesaan hanya berada di kisaran 35–38%, jauh tertinggal dari rata-rata nasional yang sudah menembus 50%.
Kesenjangan ini
semakin kentara jika dihubungkan dengan pemanfaatan teknologi finansial
(fintech).
Dari 10 perempuan petani yang diwawancara dalam survei lapangan di Jawa Timur, hanya 2 orang yang pernah menggunakan layanan bank digital.
Sementara sisanya masih bergantung pada uang
tunai, bahkan ada yang masih menyimpan uang di bawah kasur.
Namun, gap ini mulai digerakkan oleh sejumlah program pelatihan literasi digital yang diinisiasi oleh komunitas, kampus, hingga lembaga keuangan.
Program-program ini melibatkan perempuan bukan
sekadar sebagai peserta, tetapi juga sebagai agen perubahan.
Kisah
Nyata Dari Sawah ke Smartphone
Mari kita lihat kisah Bu Siti (46 tahun), seorang petani padi di Kabupaten Kediri. Sebelumnya, ia tidak memiliki rekening bank.
Setiap hasil panen ia serahkan kepada tengkulak, dengan
harga yang seringkali dipermainkan. “Saya cuma terima, nggak ngerti cara jual
sendiri atau simpan di bank,” katanya.
Pada 2022, ia mengikuti pelatihan literasi digital yang digelar sebuah universitas di Surabaya bekerja sama dengan OJK. Awalnya ia bingung saat diajari membuat akun e-wallet.
Tapi
perlahan, ia belajar cara transfer uang, menyimpan saldo, bahkan mencoba
menjual gabah melalui grup WhatsApp dengan sistem pembayaran digital.
“Sekarang saya bisa pegang uang
sendiri, bisa nabung sedikit-sedikit, dan tidak mudah ditipu tengkulak,”
ujarnya bangga.
Kisah serupa datang dari Bu Aminah (39 tahun), ibu rumah tangga di Banyuwangi. Ia mengikuti pelatihan digital marketing di desanya.
Dari yang awalnya hanya membuat kue basah untuk
tetangga, kini ia memasarkan produknya lewat marketplace lokal. Omzetnya
meningkat 200%.
Dari
Rentan Menuju Literate Faktor Penentu
Transformasi perempuan dari rentan
ke literate tidak terjadi begitu saja. Ada beberapa faktor penentu yang
berhasil mendorong perubahan ini:
-Akses Pelatihan Digital
Pelatihan singkat 2–3 hari yang praktis lebih efektif daripada seminar panjang.
Perempuan desa lebih mudah belajar dari simulasi langsung, seperti membuat akun
bank digital atau menjual produk secara online.
-Peran Komunitas Lokal
Komunitas arisan, kelompok tani, hingga PKK menjadi pintu masuk strategis.
Melalui jejaring sosial yang sudah ada, literasi keuangan bisa menyebar cepat.
-Dukungan Teknologi yang Sederhana
Aplikasi dengan antarmuka sederhana lebih ramah bagi perempuan dengan literasi
rendah. Banyak yang gagal memahami aplikasi terlalu rumit, tapi berhasil menggunakan
e-wallet berbasis QR.
-Dampak Sosial Ekonomi
Begitu perempuan merasakan langsung manfaat—misalnya bisa menabung, mendapatkan
harga panen lebih baik, atau menjual produk lebih luas—motivasi untuk belajar
meningkat tajam.
Hambatan yang Masih Menghantui
Meski ada kisah sukses, realitas di
lapangan masih penuh tantangan:
-Kesenjangan Infrastruktur Digital
Banyak desa masih lemah sinyal, membuat transaksi digital sulit dilakukan.
-Budaya Patriarki
Beberapa suami masih menolak istrinya terlibat dalam urusan keuangan digital,
dengan alasan “tidak perlu” atau “takut ribet.”
-Rendahnya Kepercayaan pada Teknologi
Banyak perempuan takut uangnya hilang kalau disimpan di aplikasi. Butuh waktu
untuk menumbuhkan kepercayaan pada fintech.
-Keterbatasan Perangkat
Tidak semua perempuan memiliki smartphone. Banyak yang harus berbagi dengan
anaknya, sehingga keterbatasan akses terjadi.
Perempuan
Sebagai Pionir Inklusi Keuangan
Meski rentan, perempuan justru punya potensi besar menjadi pionir inklusi keuangan.
Menurut penelitian Bank Dunia,
ketika perempuan terlibat dalam literasi keuangan, dampaknya berlipat ganda ke
keluarga dan komunitas.
Ketika seorang ibu rumah tangga belajar menabung di bank digital, ia bukan hanya menyimpan uangnya sendiri, tetapi juga mengajari anak-anaknya.
Ketika petani perempuan bisa menjual
panennya secara online, ia membuka jalan bagi kelompok tani lainnya.
Dengan kata lain, perempuan bukan
sekadar penerima manfaat, tetapi agen perubahan sosial-ekonomi.
Seruan
untuk Aksi Nyata
Melihat potensi besar ini,
dibutuhkan strategi nasional yang lebih tajam. Beberapa rekomendasi:
-Program Tabungan Mikro Digital
Bank dan fintech harus menghadirkan tabungan mikro yang ramah perempuan desa,
dengan setoran awal Rp10.000–Rp20.000.
-Pelatihan Berbasis Komunitas
Gunakan jejaring PKK, koperasi, atau kelompok tani untuk mempercepat literasi
digital perempuan.
-Perlindungan Konsumen
Perempuan desa rentan pada penipuan online. Program edukasi harus disertai
perlindungan nyata.
-Akses Infrastruktur
Pemerintah harus memastikan desa memiliki jaringan internet stabil agar
literasi digital tidak hanya jadi slogan.