Di sebuah kafe sederhana di Jakarta Timur, Andini (29), seorang karyawan swasta, membuka layar ponselnya untuk mengecek saldo tabungan. Angka yang muncul: Rp2,7 juta.
Gaji bulanannya sekitar Rp6 juta, namun setelah membayar kos, cicilan motor, makan sehari-hari, hingga kebutuhan tak terduga, sisanya selalu tipis.
“Andaikan saya bisa menabung Rp1 juta per bulan pun, rasanya berat sekali,” ujarnya lirih.
Cerita Andini adalah
potret nyata jutaan kelas menengah Indonesia: bekerja keras, terlihat “mapan”
dari luar, namun rapuh secara finansial.
Laporan terbaru OJK dan LPS 2024 menyebutkan: 99% rekening masyarakat Indonesia memiliki saldo di bawah Rp100 juta.
Fakta ini menunjukkan betapa sulitnya mayoritas penduduk—terutama
kelas menengah—untuk membangun tabungan yang stabil.
Data
yang Membuka Mata
Mengutip riset keuangan nasional,
distribusi rekening bank di Indonesia terlihat timpang.
->99% rekening berisi kurang dari Rp100 juta.
-Mayoritas saldo berada di bawah Rp5 juta.
-Hanya 0,8% rekening yang memiliki saldo di atas Rp500
juta, namun kelompok kecil inilah yang menguasai hampir 50% dana simpanan di
bank.
Fenomena ini bukan sekadar angka, melainkan narasi ketidaksetaraan finansial.
Sementara sebagian kecil
orang menikmati bunga deposito miliaran rupiah, mayoritas masyarakat berjuang
mempertahankan saldo yang tak pernah bertahan lama.
Beban
Kelas Menengah Terjepit di Tengah
Kelas menengah sering
digadang-gadang sebagai tulang punggung ekonomi. Mereka membayar pajak,
menggerakkan konsumsi, sekaligus menjadi target utama produk finansial. Namun
realitasnya:
-Biaya hidup melonjak
– Harga kebutuhan pokok, transportasi, hingga perumahan meningkat lebih cepat
dibanding kenaikan gaji.
-Cicilan konsumtif
– Kredit motor, kartu kredit, hingga cicilan e-commerce membuat tabungan
terkuras.
-Minim dana darurat
– Survei menunjukkan 6 dari 10 keluarga kelas menengah hanya memiliki dana
cadangan kurang dari 1 bulan biaya hidup.
Seorang analis finansial dari
Universitas Indonesia menegaskan:
“Kelas menengah rentan jatuh miskin ketika terjadi krisis. Mereka bukan
tidak berpenghasilan, tapi tabungan mereka terlalu tipis untuk bertahan.”
Kisah
di Balik Angka
Cerita
Dimas, Guru Honorer
Dimas (34), guru honorer di Bekasi, menabung hanya Rp200 ribu per bulan.
“Itu pun sering terpakai lagi sebelum
akhir bulan,” katanya. Baginya, memiliki rekening dengan saldo Rp100 juta
terdengar seperti mimpi jauh.
Keluarga
Arif di Surabaya
Arif dan istrinya bekerja di sektor swasta, penghasilan gabungan Rp12 juta. Namun biaya sekolah anak dan cicilan rumah menghabiskan hampir semuanya.
Tabungan keluarga mereka stagnan di kisaran
Rp7–8 juta setiap bulan.
Kisah-kisah ini memperlihatkan wajah
nyata data “99% rekening di bawah Rp100 juta.” Bukan karena malas menabung,
melainkan sistem ekonomi yang membuat tabungan selalu terkikis.
Perspektif
Ekonomi Mengapa Sulit Menabung?
Upah
yang Tidak Seimbang dengan Inflasi
Kenaikan gaji rata-rata pekerja
Indonesia hanya sekitar 3–5% per tahun. Sementara inflasi riil kebutuhan pokok
bisa mencapai 8–10%.
Kurangnya
Instrumen Tabungan Mikro
Produk perbankan lebih fokus pada
deposito besar atau investasi. Program tabungan mikro dengan bunga kompetitif
jarang dipromosikan.
Rendahnya
Literasi Keuangan
Banyak masyarakat kelas menengah
belum memiliki strategi pengelolaan keuangan. Mereka sering terjebak pada
cicilan konsumtif tanpa menyiapkan dana darurat.
Menghadapi realita ini, para ahli
menekankan pentingnya program tabungan mikro. Bank dan fintech bisa
menawarkan:
-Tabungan mikro otomatis
– Setiap transaksi belanja menyisihkan Rp5.000–Rp10.000 ke tabungan.
-Bunga kompetitif untuk saldo kecil – Memberikan insentif bagi masyarakat berpenghasilan rendah
dan menengah.
-Asuransi mikro terintegrasi – Perlindungan kesehatan atau kecelakaan dengan premi
sangat rendah.
-Edukasi literasi keuangan di kampus & komunitas – Mahasiswa bisa menjadi pionir mengajarkan pentingnya
menabung sejak dini.
Implikasi
Sosial Risiko Kesenjangan
Jika 99% rekening tetap berada di
bawah Rp100 juta, dampaknya serius:
-Rentan krisis:
Satu musibah bisa membuat keluarga jatuh miskin.
-Ketidaksetaraan semakin lebar: Kekayaan menumpuk di kelompok kecil.
-Daya beli melemah:
Kelas menengah kehilangan kemampuan konsumsi jangka panjang.
Ekonom senior bahkan menyebut
fenomena ini sebagai “middle class squeeze”: kelompok yang terlihat
mapan, namun nyatanya rapuh secara struktural.
Investigasi
Fenomena 99% rekening di bawah
Rp100 juta bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin rapuhnya finansial
kelas menengah Indonesia.
Dari kisah Andini, Dimas, hingga keluarga Arif, kita melihat bagaimana kerja keras sering tak berbanding lurus dengan kemampuan menabung.
Maka, seruan untuk program tabungan mikro,
literasi keuangan, dan inklusi finansial yang lebih dalam menjadi mendesak.
Jika tidak ada terobosan, mimpi
memiliki tabungan Rp100 juta akan tetap menjadi “mimpi jauh” bagi mayoritas
rakyat Indonesia.