umkmgodigital.web.id - Suatu sore di Malang, Raka, mahasiswa semester akhir, duduk di sebuah kafe kecil sambil menatap layar ponselnya. Di layar itu terpampang notifikasi tagihan kartu kredit yang menumpuk.
Di saat bersamaan, temannya mengajak ikut investasi saham lewat aplikasi baru. Raka bimbang—antara ingin cepat kaya dan takut terjerat utang.
Perasaan gamang seperti Raka bukan cerita tunggal. Banyak anak muda menghadapi dilema serupa: bagaimana cara mengelola uang di era digital yang penuh tawaran finansial instan.
Di titik
inilah literasi keuangan menjadi kunci. Seperti yang ditegaskan dalam kampanye
OJK, “Bernalar. Belajar. Berduit.” : logika yang sehat (bernalar),
pengetahuan yang benar (belajar), akhirnya menuntun pada kesejahteraan
(berduit).
Potret
Literasi dan Inklusi Keuangan Indonesia
Berdasarkan Survei Nasional
Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis OJK dan BPS, angka
literasi keuangan Indonesia mencapai 66,46%, sedangkan inklusi keuangan
berada di level 80,51%. Ini peningkatan signifikan dari periode
sebelumnya, namun masih ada kesenjangan serius.
-Kelompok rentan
dengan literasi rendah meliputi: perempuan, masyarakat pedesaan, usia 15–17
tahun, usia lanjut 51–79 tahun, serta mereka dengan pendidikan rendah dan
pekerjaan informal.
-Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula
peluang literasi dan inklusi keuangan mereka.
-Urban–rural gap terlihat jelas: akses informasi dan layanan
finansial masih lebih mudah dijangkau di kota dibandingkan desa.
Data ini menegaskan bahwa perjalanan
menuju “berduit” tidak bisa dilepaskan dari usaha kolektif memperkuat literasi,
khususnya bagi kelompok rentan.
Bernalar, Menggunakan Logika dalam Keputusan Finansial
Mengapa banyak orang masih salah
langkah dalam finansial? Penyebabnya beragam: minimnya pengetahuan, pengaruh
media sosial, hingga perilaku impulsif.
Di era digital, iklan produk
keuangan sering membombardir pengguna smartphone: pinjaman online cepat cair,
investasi kripto berlipat ganda, hingga promo kartu kredit. Tanpa bernalar,
seseorang mudah tergoda janji manis tanpa memikirkan risiko.
Menurut OJK, Digital Financial
Literacy (DFL) menjadi benteng awal. Bernalar berarti:
-Membandingkan produk keuangan sebelum memutuskan.
-Memahami risiko vs imbal hasil.
-Tidak sekadar ikut-ikutan tren.
-Menyaring informasi sebelum bertindak.
Kasus Raka kembali relevan: setelah
belajar memilah informasi, ia menyadari bahwa produk investasi yang ditawarkan
temannya tidak terdaftar di OJK. Logika sederhana itu menyelamatkan uangnya.
Belajar, Edukasi Keuangan sebagai Pondasi
Bernalar saja tidak cukup jika tidak
diimbangi belajar. Disinilah OJK berperan aktif. Melalui berbagai modul
edukasi, termasuk DFL (Digital Financial Literacy), OJK menyasar
masyarakat luas, mulai dari pelajar hingga pekerja.
Beberapa contoh nyata:
-Edukasi keuangan di kampus Malang, OJK menggelar seminar interaktif membahas cara memilih
produk keuangan digital yang aman.
-Program literasi keuangan di desa, bekerja sama dengan BUMDes, memberikan pemahaman soal
tabungan digital dan proteksi asuransi mikro.
Belajar literasi keuangan berarti membuka mata terhadap realitas baru: bahwa mengelola uang tidak lagi sekadar menabung di celengan, tetapi juga menguasai instrumen digital dengan aman.
Berduit, Hasil dari Proses Bernalar dan Belajar
Apa arti “berduit” dalam konteks
literasi finansial? Bukan sekadar memiliki uang banyak, melainkan kemampuan
mengelola keuangan dengan bijak.
-Berduit adalah mampu menabung secara rutin.
-Berduit adalah berani berinvestasi setelah memahami
risikonya.
-Berduit adalah terbebas dari jeratan utang konsumtif.
-Berduit adalah hidup sesuai kemampuan tanpa tekanan
finansial.
Raka, setelah mengikuti program OJK,
akhirnya memutuskan membuka rekening tabungan berjangka dan belajar investasi
di reksadana pasar uang yang resmi diawasi OJK. Kini ia lebih tenang, lebih
terarah, dan lebih percaya diri menghadapi masa depan.
Celah Literasi di Balik Angka SNLIK
Investigasi
Kebijakan, Dari UU PPSK hingga Fintech
Literasi keuangan bukan hanya isu
personal, melainkan kebijakan publik. Setelah lahirnya UU Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) 2023, OJK kini memiliki otoritas lebih
luas, termasuk mengawasi fintech lending dan aset kripto.
Implikasinya jelas: masyarakat harus
semakin melek literasi finansial. Tanpa pemahaman, pengguna bisa terjebak dalam
layanan ilegal yang merugikan. OJK memperingatkan bahwa hingga 2025 masih
banyak fintech ilegal yang beroperasi, merugikan ribuan orang.
Dengan bernalar dan belajar, masyarakat
bisa lebih waspada, sekaligus memanfaatkan inovasi keuangan digital secara
aman.
Raka,
Ibu Desa, dan Pelajaran Kolektif
Tak hanya Raka, ada kisah Bu Siti, pedagang kecil di pedesaan. Awalnya ia terjerat pinjaman online ilegal.
Setelah mengikuti sosialisasi OJK, ia belajar menggunakan produk tabungan digital melalui BUMDes. Kini, usahanya lebih stabil, dan ia tidak lagi khawatir tiap kali ada kebutuhan mendadak.
Kisah-kisah ini menegaskan satu hal:
literasi finansial bukan teori kosong. Ia nyata, menyelamatkan, dan mengubah
kehidupan.
Bernalar.
Belajar. Berduit.
Tiga kata sederhana ini merangkum
strategi hidup finansial di era digital. Bernalar agar tidak mudah
tergoda janji manis. Belajar agar mampu memahami risiko dan peluang.
Hingga akhirnya, berduit—yakni hidup dengan tenang, stabil, dan mapan.
Perjalanan literasi keuangan Indonesia masih panjang. Namun, dengan dukungan OJK, perguruan tinggi, dan masyarakat, masa depan finansial yang sehat bukanlah mimpi.